Pengertian Jilbab
Jilbab dalam pembahasan sejarah singkat ini adalah Jilbab yang tercantum pada firman Allah S.W.T (QS. Al Ahzab: 59).
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيبِهِنَّ
“Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu, dan istri-istri orang mukmin agar hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka…” (QS. Al Ahzab: 59).
Pengertian Jilbab Secara Bahasa
Secara bahasa, jilbab berasal dari kata al jalb,
الجَلْبُ: سَوْقُ الشيء من موضع إِلى آخَر
“Al Jalb artinya menjulurkan/memaparkan sesuatu dari suatu tempat ke tempat yang lain” (Lisaanul Arab).
Sedangkan makna jilbab secara spesifik,
والجِلْبابُ القَمِيصُ. والجِلْبابُ ثوب أَوسَعُ من الخِمار، دون الرِّداءِ، تُغَطِّي به المرأَةُ رأْسَها وصَدْرَها؛.
“Jilbab (diantara maknanya) adalah gamis, dan jilbab itu adalah pakaian yang lebih lebar dari khimar, yang selain rida’, dipakai oleh wanita untuk menutupi kepala dan dadanya” (Lisaanul Arab).
Pengertian Jilbab Menurut Para Ulama
Para ulama berbeda pendapat dalam menafsirkan makna ‘jilbab’ dalam surat Al Ahzab di atas. Dalam kitab Fathul Qadir, Asy Syaukani membawakan beberapa penjelasan ulama mengenai jilbab
قَالَ الْجَوْهَرِيُّ: الْجِلْبَابُ: الْمِلْحَفَةُ، وَقِيلَ: الْقِنَاعُ، وَقِيلَ: هُوَ ثَوْبٌ يَسْتُرُ جَمِيعَ بَدَنِ الْمَرْأَةِ، كَمَا ثَبَتَ فِي الصَّحِيحِ مِنْ حَدِيثِ أُمِّ عَطِيَّةَ أَنَّهَا قَالَتْ: يَا رَسُولَ اللَّهِ إِحْدَانَا لَا يَكُونُ لَهَا جِلْبَابٌ، فَقَالَ: «لِتُلْبِسْهَا أُخْتُهَا مِنْ جِلْبَابِهَا» قَالَ الْوَاحِدِيُّ: قَالَ الْمُفَسِّرُونَ: يُغَطِّينَ وجوههنّ ورؤوسهنّ إِلَّا عَيْنًا وَاحِدَةً، فَيُعْلَمُ أَنَّهُنَّ حَرَائِرُ فَلَا يعرض لهن بِأَذًى. وَقَالَ الْحَسَنُ: تُغَطِّي نِصْفَ وَجْهِهَا. وَقَالَ قَتَادَةُ: تَلْوِيهِ فَوْقَ الْجَبِينِ وَتَشُدُّهُ ثُمَّ تَعْطِفُهُ عَلَى الْأَنْفِ وَإِنْ ظَهَرَتْ عَيْنَاهَا لَكِنَّهُ يَسْتُرُ الصَّدْرَ وَمُعْظَمَ الْوَجْهِ
“Al Jauhari mengatakan, jilbab adalah milhafah (kain yang sangat lebar). Sebagian ulama mengatakan, jilbab adalah al qina’ (sejenis kerudung untuk menutupi kepala dan wajah). Sebagian ulama mengatakan, jilbab adalah pakaian yang menutupi seluruh tubuh wanita. Sebagaimana dalam hadits shahih, dari hadits Ummu Athiyyah, bahwa ia mengatakan: ‘Wahai Rasulullah, diantara kami ada yang tidak memiliki jilbab’. Lalu Rasulullah menjawab: ‘hendaknya ada dari kalian yang menutupi saudarinya dengan jilbabnya‘. Al Wahidi mengatakan: ‘menurut para ulama tafsir jilbab digunakan untuk menutupi wajah dan kepala mereka kecuali satu matanya saja, sehingga diketahui mereka adalah wanita merdeka sehingga tidak diganggu orang’. Al Hasan mengatakan: ‘jilbab digunakan untuk menutupi setengah wajah wanita’. Qatadah mengatakan: ‘jilbab itu menutupi dengan kencang bagian kening, dan menutupi dengan ringan bagian hidung. Walaupun matanya tetap terlihat, namun jilbab itu menutupi dada dan mayoritas wajah’” (Fathul Qadir, 4/350).
Sedangkan Ibnu Katsir mengatakan:
وَالْجِلْبَابُ هُوَ: الرِّدَاءُ فَوْقَ الْخِمَارِ. قَالَهُ ابْنُ مَسْعُودٍ، وَعُبَيْدَةُ، وَقَتَادَةُ، وَالْحَسَنُ الْبَصْرِيُّ، وَسَعِيدُ بْنُ جُبَيْرٍ، وَإِبْرَاهِيمُ النَّخَعِيُّ، وَعَطَاءٌ الْخُرَاسَانِيُّ، وَغَيْرُ وَاحِدٍ. وَهُوَ بِمَنْزِلَةِ الْإِزَارِ الْيَوْمَ
“Jilbab adalah rida‘ (selendang untuk menutupi bagian atas) yang dipakai di atas khimar. Ini adalah pendapat Ibnu Mas’ud, Ubaidah, Qatadah, Al Hasan Al Bashri, Sa’id bin Jubair, Ibrahim An Nakha’i, Atha’ Al Khurasani, dan selain mereka. Dan menurut definisi ini maka jilbab itu sebagaimana izaar di zaman sekarang” (Tafsir Ibni Katsir, 6/481).
As Sa’di menjelaskan:
وهن اللاتي يكن فوق الثياب من ملحفة وخمار ورداء ونحوه، أي: يغطين بها، وجوههن وصدورهن
“Jilbab adalah yang dipakai di atas pakaian, baik berupa milhafah, khimar, rida’ atau semacamnya, yang dipakai untuk menutupi wajah dan dada mereka” (Taisir Karimirrahman, 671).
Imam Qurthubi dalam tafsirnya mengatakan; Jilbab berarti kain yang lebih besar ukurannya dari khimar (kerudung), sedang yang benar menurutnya jilbab adalah kain yang menutup semua badan.
Berikut ini beberapa makna jilbab yang bisa kita simpulkan dari penjelasan para ulama tersebut:
- Jilbab adalah milhafah (kain yang sangat lebar)
- Jilbab adalah khimar atau al qina’, yaitu kerudung untuk menutupi kepala hingga dada
- Jilbab adalah pakaian yang menutupi seluruh tubuh wanita
- Jilbab adalah penutup wajah dan kepala mereka kecuali satu matanya saja
- Jilbab adalah penutup setengah wajah wanita
- Jilbab adalah penutup kepala dan wajah kecuali matanya, hingga ke dadanya
- Jilbab adalah rida‘ (selendang untuk menutupi bagian atas) yang dipakai di atas khimar
Dengan mengesampingkan masalah apakah wajah termasuk aurat yang wajib ditutup atau tidak, secara umum kita bisa bagi makna jilbab menjadi tiga:
- Jilbab sama dengan khimar, yaitu kain yang menutupi kepala, leher, hingga ke dada wanita.
- Jilbab adalah kain yang lebih lebar dari khimar dan dipakai di atas khimar. Artinya, jilbab berbeda dengan khimar, sehingga ulama yang memaknai demikian mewajibkan muslimah ketika keluar rumah memakai tiga hal: tsaub (pakaian), khimar, dan jilbab.
- Jilbab sama dengan hijab muslimah, yaitu seluruh pakaian yang menutupi aurat, lekuk tubuh dan perhiasan wanita
Ringkasnya, para ulama khilaf mengenai makna jilbab. Kita hendaknya bijak dalam memaknai dan menggunakan makna jilbab sesuai dengan konteks yang ada dan dengan menghormati khilaf ulama dalam hal ini.
Sejarah Jilbab Dunia
Sebenarnya konsep hijab bukanlah hal yang baru. Misalnya dalam kitab Taurat, kitab suci agama Yahudi, sudah dikenal beberapa istilah yang semakna dengan hijâb seperti if’eret. Demikian pula dalam kitab Injil yang merupakan kitab suci agama Nasrani juga ditemukan istilah semakna. Misalnya istilah zammah, re’alah, zaif dan mitpahat.
Bahkan kata Eipstein yang dikutip Nasaruddin Umar dalam tulisannya yang pernah dimuat di Ulumul Quran, konsep hijâb dalam arti penutup kepala sudah dikenal sebelum adanya agama-agama Samawi (Yahudi dan Nasrani). Bahkan kata pak Nasar, pakaian seperti ini sudah menjadi wacana dalam Code Bilalama (3.000 SM), kemudian berlanjut di dalam Code Hammurabi (2.000 SM) dan Code Asyiria (1.500 SM). Ketentuan penggunaan jilbab (red: hijab) sudah dikenal di beberapa kota tua seperti Mesopotamia, Babilonia, dan Asyiria. (Kompas, 25/11/02).
Dalam bahasa Yunani kuno kata untuk kerudung adalah καλύπτρα (kalyptra; dari kata kerja καλύπτύπ, kalyptō, yang berarti “Saya menutupi”).
Wanita elit di Lembah Hilal Subur (Mesopotamia kuno) dan di kekaisaran Yunani dan Persia mengenakan kerudung sebagai tanda kehormatan dan status kasta tinggi. Referensi paling awal untuk kerudung yang paling jelas adalah kode hukum Asiria Pertengahan yang berasal dari tahun 1400 dan 1100 SM. Asyur memiliki undang-undang perlindungan yang secara eksplisit merinci wanita mana yang harus berkerudung dan wanita mana yang tidak boleh berkerudung, tergantung pada kelas kasta, pangkat, dan pekerjaan di masyarakat. Budak dan pelacur dilarang berkerudung dan menghadapi hukuman berat jika mereka melakukannya.
Kode hukum Asyiria Pertengahan menyatakan:
§ 40. Seorang isteri dari seorag laki-laki, atau janda, atau wanita Asyiria yang pergi ke jalan raya utama sebaiknya tidak membiarkan kepala mereka telanjang. […] Seorang pelacur tidak boleh menutupi dirinya, kepalanya akan telanjang. Siapa pun yang melihat pelacur berjilbab akan ditangkap, diamankan para saksi, dan dibawa ke pintu masuk istana….
Dengan demikian, berkerudung bukan hanya penanda pangkat aristokrat, tetapi juga berfungsi untuk membedakan antara perempuan yang “terhormat” dan perempuan yang “tersedia untuk umum”. Kerudung ibu-ibu juga merupakan kebiasaan di Yunani kuno. Antara 550 dan 323 SM wanita terhormat dalam masyarakat Yunani diharapkan mengasingkan diri dari dunia dan mengenakan pakaian yang menyembunyikan mereka dari mata pria asing.

Patung-patung Yunani Klasik dan Helenistik kadang-kadang menggambarkan wanita Yunani dengan kepala dan wajah ditutupi oleh kerudung. Itu adalah hal biasa bagi wanita (setidaknya mereka yang berstatus tinggi) di Yunani kuno untuk menutupi rambut dan wajah mereka di depan umum. Perempuan Romawi diharapkan mengenakan kerudung sebagai simbol otoritas suami atas istrinya; seorang wanita yang sudah menikah dan menghilangkan kerudungnya dianggap menarik diri dari pernikahan (cerai). Pada 166 SM, konsul Sulpicius Gallus menceraikan istrinya karena dia telah meninggalkan rumah tanpa busana, sehingga memungkinkan semua orang untuk melihat auratnya. Gadis-gadis yang belum menikah biasanya tidak menutupi kepala mereka, tetapi para sipir melakukannya untuk menunjukkan kesederhanaan dan kesucian mereka, pudicitia mereka. Jilbab juga melindungi wanita dari mata jahat.
Pencampuran populasi menghasilkan konvergensi praktik budaya antar kerajaan Yunani, Persia, dan Mesopotamia dan masyarakat Semitik di Timur Tengah. Kerudung dan pengasingan wanita tampaknya telah masuk di antara ajaran agama orang-orang Yahudi dan Kristen, sebelum menyebar ke orang-orang Arab urban dari kelas atas dan akhirnya masuk ke kota besar. Di daerah pedesaan, biasanya orang-orang Arab Kuno hanya menutupi rambut, tetapi tidak untuk wajah.
Hijab Masa Pertengahan
Selama berabad-abad, sampai sekitar tahun 1175, wanita Anglo-Saxon dan kemudian wanita, dengan pengecualian gadis-gadis muda yang belum menikah, mengenakan kerudung yang seluruhnya menutupi rambut mereka, dan sering juga sampai leher dan ke dagu mereka (wimple). Hanya pada periode Tudor (1485), ketika kerudung biasa menjadi semakin populer, kerudung jenis wimple menjadi kurang umum. Ini sangat bervariasi dari satu negara ke negara lain. Di Italia, kerudung, termasuk menutupi muka, dikenakan di beberapa daerah sampai tahun 1970-an. Wanita di Italia selatan sering menutupi kepala mereka untuk menunjukkan bahwa mereka sopan, berperilaku baik dan saleh. Mereka umumnya mengenakan cuffia (topi).

Jilbab Masa Arab Jahiliyah dan Islam
Bangsa arab pada zaman Jahiliah telah mengenal hijab. Mereka menganggapnya sebagai salah satu tradisi persahabatan dan percintaan. Anak wanita yang sudah mencapai usia masa kawin dan mulai menampakkan rasa malunya, maka ia mengenakan hijab sebagai pertanda ia minta lekas dinikahkan, dan biasanya mereka dalam memakai hijab tidak hanya terbatas pada wajahnya, kecuali bila sedang ditimpa musibah.
Ada beberapa syair dan sajak tentang hijab yang ditulis oleh para penyair Arab di zaman Jahiliah
Sajak Zubair bin Salma (yang menceritakan keluarga Al- Husain) :
“Aku tidak tahu dan aku mesti akan tahu, Apakah aku sedang berdiri didepan keluarga Husain atau dihadapan para wanita, Bila dikatakan para wanita yang bersembunyi, Maka benarlah bahwa wanita yang melindungi dirinya mendapat ke hormatan.”
Sajak Taufail bin Auf-Ghanawi:
“Dengan penutup muka tidak akan mengurangi kehormatannya kemuliaannya tetap terjaga, dan kecantikannya dapat di nikmati bila telah tiba saatnya.”
Pelembagaan hijâb dalam Islam di-dasarkan pada dua ayat dalam Alqur’an yaitu QS. Al-Ahzab/ 33: 59 dan QS. An-Nur/24: 31.
Kedua ayat ini saling menegaskan tentang aturan berpakaian untuk perempuan Islam. Pada surat An-Nur, kata khumur merupakan bentuk plural dari khimar yang artinya kerudung. Sedangkan kata juyub merupakan bentuk plural dari kata jaib yang artinya adalah ash-shadru (dada). Jadi kalimat hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya ini merupakan reaksi dari tradisi pakaian perempuan Arab Jahiliyah.
Seperti yang digambarkan oleh Al-Allamah Ibnu Katsir di dalam tafsirnya: “Perempuan pada zaman jahiliyah biasa melewati laki-laki dengan keadaan telanjang dada tanpa ada selimut sedikitpun. Bahkan kadang-kadang mereka memperlihatkan lehernya untuk memperlihatkan semua perhiasannya”.
Sementara itu Imam Zarkasyi memberikan komentarnya mengenai keberadaan perempuan pada masa jahiliyah: “Mereka mengenakan pakaian yang membuka leher bagian dadanya, sehingga tampak jelas seluruh leher dan urat-uratnya serta anggota sekitarnya. Mereka juga menjulurkan kerudung mereka ke arah belakang, sehingga bagian muka tetap terbuka. Oleh karena itu, maka segera diperintahkan untuk mengulurkan kerudung di bagian depan agar bisa menutup dada mereka”.
Pakaian yang memperlihatkan dadanya ini pernah dilakukan Hindun binti Uthbah ketika memberikan semangat perang kaum kafir Mekah melawan kaum muslim pada perang Uhud. Dan ini biasa dilakukan perempuan jahiliyah dalam keterlibatannya berperang untuk memberikan semangat juang.
Berbagai Pelarangan Penggunaan Jilbab di Dunia
- Di Turki pada bulan Desember 1934 Presiden Turki Mustafa Kemal Atatürk mengeluarkan pelarangan penggunaan kain asli pribumi (sebelumnya Turki diperintah oleh Kerajaan Ottoman) di negaranya.
- Di Iran pada tahun 1936 Shah Reza Pahlevi mengeluarkan perintah yang melarang penggunaan segala bentuk pakaian bernuansa Islami oleh perempuan di Iran.
Sejarah Jilbab Indonesia
Jilbab Masa Penjajahan
Catatan sejarah menyebut, budaya pemakaian jilbab/hijab di Nusantara ada sejak abad ke-17, di mana seorang muslimah bangsawan dari Makassar yang kali pertama mengenakan. Meski belum ada bukti dokumentasi berupa foto, sebab foto pertama di dunia baru ada sejak abad ke-19 atau pada 1826 karya Joseph Nicephore Niepce.
Lantas, cara berhijab muslimah bangsawan Makassar tersebut ditiru oleh perempuan Jawa pada awal 1900-an.
Sejauh yang dapat diketahui, di Aceh sejak tahun 1600-an sudah ada informasi bahwa penduduk wanitanya menggunakan baju dengan tudung di kepala. Sejarawan Perancis, Dennys Lombard, melalui buku Kerajaan Aceh, Jaman Sultan Iskandar Muda 1607-1636, pernah menampilkan ilustrasi penduduk Aceh pada abad itu.
“Mengenai gaya hidup dan adat kebiasaan orang Aceh, sumber-sumber kami memberi keterangan yang sangat padat. Mula-mula mengenai pakaian mereka: “Pakaian mereka biasa dari belacu biru; jenis yang paling bagus, warnanya merah lembayung. Mereka mempunyai kebiasaan aneh, yaitu di atas kepala mereka memakai serban yang diikat seperti gulungan, sedemikian rupa hingga ujung kepalanya tertutup –seperti yang dipakai anak-anak gadis kita kalau menjunjung kenceng susu mereka” tulisnya di halaman 67.
Pada 1604, catatan perjalanan itu diterbitkan penerbit Sonnius di Paris dalam judul Description du premier voyage faict aux Indes Orientales par les Francois.
Selain itu, dengan menggunakan sumber catatan perjalanan Peter Mundy berjudul “The Travels of Peter Mundy in Europe and Asia, 1608-1667, Lombard menunjukan seorang wanita Aceh dalam baju panjang dengan tudung. Lihat pada ilustrasi “No.21b An Achein Women” (Wanita Aceh) berikut ini (Kerajaan Aceh, Jaman Sultan Iskandar Muda 1607-1636, halaman 365).

Jilbab di Indonesia memiliki jejak perkembangan yang sangat pesat dan dimulai ketika awal kemerdekaan. Perempuan Indonesia pada saat itu sudah mulai menggunakan Jilbab yang biasa disebut kerudung. Bentuk jilbab pada masa ini masih sangat sederhana berupa kain yang di pakai di kepala dan menutupi sebagian rambut kepala perempuan, seperti yang dipakai oleh tokoh wanita zaman itu. Ibu Fatmawati adalah salah satunya. beliau menggunakan kain berenda yang dijadikan kerudung.
Di Sulawesi Selatan, Arung Matoa (penguasa) Wajo, yang di panggil La Memmang To Appamadeng, yang berkuasa dari 1821-1825 memberlakukan syariat Islam. Selain pemberlakuan hukum pidana Islam, ia juga mewajibkan kerudung bagi masyarakat Wajo.[1]
G.F Pijper mencatat, istilah ‘Mukena’, setidaknya telah dikenal sejak tahun 1870-an di masyarakat sunda. Meskipun begitu, pemakaian jilbab dalam kehidupan sehari-hari tidak serta merta terjadi di masyarakat [2]
Sayyid Uthman, seorang ulama dari Batavia menulis persoalan jilbab ini dalam bukunya ‘Lima Su’al Didalam Perihal Memakai Kerudung’ yang terbit pada Oktober 1899.[3]
Syaikh Abdul Karim Amrullah yang biasa dikenal dengan nama Haji Rasul ini, amat vokal menyuarakan kewajiban wanita Muslim menutup aurat. Menurutnya, aurat wanita itu seluruh tubuh.[8] Ayah Buya Hamka ini mengkritik keras kebaya pendek khas Minangkabau. Kritik beliau dapat kita lihat dalam bukunya, Cermin Terus. Kritik keras terhadap pakaian wanita ini kemudian menjadi polemik di masyarakat.[9]
Diceritakan oleh Buya Hamka dalam bukunya yang berjudul “Ayahku; Riwayat Hidup Dr H Abdul Karim Amrullah dan Perjuangan Kaum Agama di Sumatra”, bahwa ayahnya menentang kebaya pendek itu karena tidak sesuai dengan hadits Nabi dan pendapat ulama-ulama. Memang, lanjut Buya, ada kebaya pendek yang sengaja digunting untuk menunjukkan pangkal payudara.[10]

Di pulau Jawa, banyaknya wanita muslim yang tidak menutupi kepala, mendorong gerakan reformis muslim menyiarkan kewajiban jilbab. Pendiri Muhammadiyah, KH. Ahmad Dahlan, istrinya (pendiri Aisyiyah) dan para tokoh Muhammadiyah dan Aisyiyah aktif menyiarkan dan menyatakan bahwa jilbab adalah kewajiban bagi wanita Muslim sejak 1910-an.
K.H. Ahmad Dahlan melakukan dakwah jilbab ini secara bertahap. Awalnya ia meminta untuk memakai kerudung meskipun rambut terlihat sebagian. Kemudian ia menyarankan mereka untuk memakai Kudung Sarung dari Bombay. Pemakaian kudung ini dicemooh oleh sebagian orang. Mereka mencemoohnya dengan mengatakan,“Lunga nang lor plengkung,[11] bisa jadi kaji” (pergi ke utara plengkung, kamu akan jadi haji). Namun KH. Ahmad Dahlan tak bergeming. Ia berpesan kepada murid-muridnya, “Demit ora dulit, setan ora Doyan, sing ora betah bosok ilate,” (Hantu tidak menjilat, setan tidak suka yang tidak tahan busuk lidahnya). Upaya menggemakan kewajiban jilbab ini terus berjalan. Tak hanya itu, ia mendorong wanita untuk belajar dan bekerja, semisal menjadi dokter, ia tetap menekankan wanita untuk menutup aurat dan melakukan pemisahan antara laki-laki dan perempuan.[12] Organisasi Muhammadiyah sendiri pernah mengungkapkan aurat wanita adalah seluruh badan, kecuali muka dan ujung tangan sampai pergelangan tangan.[13]
Dalam buku Sejarah Kauman (2010) karya Ahmad Adabi Darban, sejak 1917 Muhammadiyah telah menggerakkan program wajib berkerudung bagi anggota-anggota Aisyiyah. Namun, program ini baru mewajibkan kaum perempuan untuk berkerudung. Karena dalam praktiknya, pakaian kebaya ternyata masih menjadi pakaian umum anggota Aisyiyah pada waktu itu. Maka lahirlah budaya unik yang disebut “Kudung Aisyiyah,” berupa kain kerudung yang ditenun dan disulam dengan motif bunga-bungaan. “Kudung Aisyiyah” inilah yang kemudian populer dikenal sebagai “Songket Kauman.”




Organisasi Al Irsyad juga turut menyuarakan kewajiban jilbab bagi para wanita. Di Pekalongan, Jawa Tengah, kongres Al Irsyad telah membahas isu-isu wanita yang berjudul Wanita dalam Islam Menurut Pandangan Golongan al-Irsyad. Salah satu hasil kongresnya menyarankan anggota wanitanya untuk menutupi kepala dan tubuh mereka kecuali wajah dan telapak tangan.[14]
Selain Muhammadiyah dan Al Irsyad, Persis menjadi organisasi yang amat gigih dan aktif menyuarakan kewajiban jilbab bagi wanita. Melalui majalah Al-Lisaan tahun 1935, Persis secara tegas menyatakan tubuh wanita yang boleh kelihatan hanya muka dan pergelangan tangan. Itu artinya rambut dan kepala wanita harus ditutup.[15] Tokoh Persis, Ahmad Hassan menulis syiar pertamanya tentang kewajiban jilbab bagi wanita Muslim pada tahun 1932. Anggota wanita dari Persis pun mengenakan gaya jilbab yang berbeda. Mereka benar-benar menutupi kepala mereka dan hanya menunjukkan wajah. Rambut, leher, telinga dan bagian dada tertutup oleh jilbab. Mereka memakainya tidak hanya ketika melakukan perayaan atau kegiatan keagamaan, tapi juga sebagai pakaian sehari-hari. Ini sebuah kebiasaan baru dan disertai keyakinan bahwa bila wanita yang tidak menutupi kepalanya, maka akan masuk neraka. Hal ini mengundang reaksi sebagian masyarakat. Bahkan akibat memakai jilbab sesuai arahan Persis ini, di Pamengpeuk, seorang muslimah dilempari batu.[16]
Kegigihan memperjuangkan jilbab, tak hanya dilakukan oleh organisasi muslim reformis. Nahdlatul Ulama (NU) menyuarakan hal yang sama. Saat Kongres Nahdlatoel Oelama ke-XIII yang digelar pada Juni tahun 1938, di Banten, NU Cabang Surabaya mengusulkan agar kaum ibu dan murid-murid Madrasah Banaat NO memakai kudung model Rangkajo Rasuna Said. Alasannya agar kaum ibu menutup auratnya sesuai syariat Islam.
“Berhubung dengan jang dibilang aurat dari perempoean itu adalah seloeroeh badannja, teroetama ramboet, tangan, dsb. Itoe telah diketahoei oleh oemoem, maka itoelah sebabnja, Soerabaja tetap mempertahankan pendiriannja, karena jang dimaksoed oleh oesoel itu, hanjalah penoetoepan rambut sadja (dan dengan sendirinja leher tertoetoep djoega oleh keadaan jang sangat memaksanja). Soerabaja tak akan merobah pendiriannja itoe.”[17]
Lebih dari itu, KH. Tohir Bakri mengungkapkan alasan cabang tersebut karena sesuai dengan hukum-hukum Islam dan terdorong untuk mencegah timbulnya korban dari kaum ibu pada zaman modern. Mendengar hal ini, HBNO (PBNU) mendukung usul itu, sebab kaum ibu akan menjadi contoh bagi orang awam, kemudian turut menjaganya dari kemaksiatan, dan menghargai kaum ibu di tengah kemaksiatan yang merajalela.[18]
Akhirnya, Voorzitter memutuskan ustadzah-ustadzah dan murid-murid Madrasah Banaat NO memakai kudung model Rangkajo Rasuna Said, alasannya agar kaum ibu menutup auratnya sesuai syariat Islam. Keputusan ini diambil berdasarkan pertimbangan keadaan dan kebiasaan suatu tempat yang berbeda-beda serta belum ada organisasi khusus bagi kaum ibu NU.[19] Dalam keputusan Muktamar NU ke-8 di Jakarta, tanggal 2 Muharram 1352 H/ 7 Mei 1933, diungkap bahwa menurut pendapat yang paling shahih dan terpilih, seluruh anggota badan wanita merdeka itu aurat kecuali wajahnya dan kedua telapak tangannya, baik bagian dalam ataupun luarnya.[20]

Tahun 1940 di Solo, dua orang tokoh keturunan Bani Alawi, Idrus Al-Mansyhur dan Ali Bin yahya mulai menggerakkan dakwah pemakaian ‘berguk’ bagi wanita. ‘Berguk’ berasal dari kata Burkak. Di sebuah pertemuan yang dihadiri 60 orang, terdapat keprihatinan di kalangan mereka akan degradasi moral kaum wanita. Ketika itu dibicarakan, sudah banyak wanita yang keluar tanpa kerudung. Sebagai keturunan Rasulullah SAW, mereka merasa telah mengkhianati beliau. Ahmad bin Abdullah Assegaf, Segaf Al Habsyi dan Abdul Kadir Al Jufri sependapat untuk mewajibkan Berguk kepada wanita dikalangan Alawiyyin. Dakwah ini tidak hanya di Solo, namun mulai merebak ke Surabaya dan menimbulkan pertentangan. Namun akhirnya kampanye pemakaian ‘Berguk’ surut dengan sendirinya.
Upaya memperjuangkan jilbab tak sedikit mendapat pertentangan. Perang kata-kata melalui media massa mewarnai era 1930-40an. Majalah Aliran Baroe yang berafiliasi dengan Partai Arab Indonesia (PAI), tidak mendukung kewajiban jilbab. Majalah ini berseteru dengan beberapa pihak. Sikap PAI yang tidak mengurusi soal jilbab ini mendapat kritikan dari Siti Zoebaidah melalui majalah Al Fatch. Lewat majalah milik Aisyiyah –organisasi perempuan yang menginduk pada Muhammadiyah- ini,[21] Siti Zoebaidah menegaskan bahwa wajib bagi kaum muslimat memakai jilbab.[22] Kaum Aisyiyah memang dikenal selalu memakai jilbab. Hal ini diungkap dalam Majalah Berita Tahunan Muhammadiyah Hindia Timur 1927 bahwa, “Rambut kaum Aisyiyah selalu ditutup dan tidak akan ditunjukkan, sebab termasuk aurat.”[23]
Berikut adalah koleksi beberapa foto wanita berjilbab pada masa penjajahan


Sumber: Koleksi Nationaal Museum van Wereldculturen

Jilbab Masa Orde Baru
Pada tahun 1970-1980an isu jilbab di Indonesia pernah menjadi sesuatu yang ditentang keberadaannya di ruang publik, terutama di sekolah-sekolah. Bahkan pelarangan jilbab/hijab dibuat dalam aturan perundang-undangan pada tanggal 17 Maret 1982, Dirjen Pendidikan dan Menengah, Prof. Darji Darmodiharjo, SH., mengeluarkan SK 052/C/Kep/D.82 tentang Seragam Sekolah Nasional yang implementasinya berujung pada pelarangan berjilbab bagi pelajar putri di SMA Negeri. Berjilbab hanya boleh dilakukan di sekolah swasta atau sekolah negeri yang memang mewajibkan seluruh pelajar putrinya berjilbab.
Awal tahun 1980-an memang merupakan periode konflik antara Islam dan Pemerintah. Kedua pihak saling berlawanan atau konflik antara Islam dan pemerintah. Kedua pihak kerap bersitegang. Politik Pemerintah Orde Baru yang represif terhadap umat Islam turut memperkeruh persoalan ini.
Kekhawatiran permerintah tentu ada dasarnya, seperti mencurigai wanita berjilbab dengan golongan teroris atau gerakan politik Islam yang mengancam pemerintah. Hingga akhirnya banyak tokoh yang memberontak dengan melancarkan aksi melawan pemerintah.
Terjadilah tanggapan dari beberapa ormas Islam di Indonesia mengenai pelarangan Jilbab di sekolah-sekolah. Yang pada akhirnya diagendakan pertemuan di sebuah restoran di kawasan Monas, bulan Desember 1990, kedua belah pihak yaitu MUI dan Dirjen Dikdasmen sepakat untuk menyempurnakan peraturan seragam sekolah.
Akhirnya, pada tanggal 16 Februari 1991, SK seragam sekolah yang baru resmi ditandatangani, setelah melalui proses konsultasi dengan banyak pihak, termasuk Kejaksaan Agung, MENPAN, Pimpinan Komisi XI, DPR RI, dan BAKIN. SK yang baru itu, SK No. 100/C/Kep/D/1991, tidak disebutkan kata jilbab, tetapi yang digunakan adalah istilah “seragam khas”.
Dalam peraturan tersebut, dinyatakan “Siswi (SMP dan SMA) yang karena keyakinan pribadinya menghendaki penggunaan pakaian seragam sekolah yang khas dapat mengenakan pakaian seragam khas yang warna dan rancangan sesuai lampiran III dan IV”.
Pada lampirannya bisa dilihat bentuk seragam khas yang dimaksud, yang tidak lain adalah busana muslimah dengan jilbab atau jilbabnya (Alwi Alatas dan Fifrida Desliyanti, 2001:73-75).
Pelarangan tidak hanya terjadi di sekolah-sekolah, bahkan orang-orang yang bekerja dikantor, instansi pemerintahan dan sejenisnya pun cenderung menolak bahkan melarang perempuan berjilbab. Alasannya sangat klasik, yakni untuk memperlancar komunikasi dan proses produksi.
Jilbab Masa Reformasi
Pasca Reformasi, ketika pemaknaan atas identitas keislaman makin beragam dan mendapat ruang di muka publik, komersialisasi pun memasuki jilbab. Sebagai bagian dari sebuah mode, model jilbab dan pakaian muslim berkermbang pesat mulai jilbab segi empat sampai burka (pakaian muslimah bercadar).
Jilbab Masa Milenial
Perkembangan selanjutnya terjadi pada zaman milenial. Zaman di mana semua sudah sangat maju dan serba praktis. Pada masa ini, gaya berjilbab sudah beragam dengan model yang kekinian. Pada masa ini, kebebasan berjilbab sudah sangat mendunia bagi siapapun perempuan muslim yang memakainya.
Footnotes:
1 Pelras, Christian, Religion, Tradition and the Dynamics of Islamization in South-Sulawesi, Archipel, Volume 29, 1985, hlm107-135.
2 Ali Tantowi, The Quest of Indonesian Muslim Identity Debates on Veiling from the 1920s to 1940s, Journal of Indonesian Islam, The Circle of Islamic and Cultural Studies: Jakarta, Volume 04, Number 01, June 2010, hlm.69
3 Ali Tantowi, Ibid, hlm.71
[7] https://id.wikipedia.org/wiki/Isabeau_dari_Bayern-Ingolstadt